Pada akhir tahun 1525 murhum berkunjung kekerajaan konawe untuk
menjumpai neneknya, Wasitau, yaitu anak raja mekongga Sabulombo dari
perkawinannya dengan Wungabae yang sedang sakit karena umur yang sudah
lanjut. Dalam kunjungannya tersebut murhum yang sudah terkenal
sebagai pahlawan yang berhasil membunuh La Bolontio mendapatkan
kepercayaan dari Raja konawe Oheo untuk memimpin perutusan perdamaian kerajaan konawe menyelesaikan sengketanya dengan kerajaan mekongga.
Demikian atas permintaan raja konawe Oheo Murhum memimpin beberapa Anakia perutusan kerajaan konawe menemui raja kerajaan mekongga Teporambe yaitu pada tahun 1526 yang kebetulan saudara kandung neneknya Murhum yang bernama Wasitau.
Dalam 2 hari perjalanan tibalah tibalah perutusan dimowewe dan disanalah perutusan dapat menemui raja mekongga bersama rombongannya yang sedang bersiap-siap untuk berangkat ke tanggetada wilayah selatan kerajaan mekongga.
Kedatangan rombongan perutusan menimbulkan rasa heran dan curiga raja Mekongga Teporambe, tetapi diterima dengan baik sebab dipimpin oleh murhum atau Lakilaponto sebagai orang yang dipandang netral dalam sengketa antara kerajaan konawe dan kerajaan mekongga yang juga kebetulan termasuk cucunya. Dalam suatu kesepakatan yang telah direncanakan oleh kedua belah pihak diaturlah pertemuan untuk membicarakan maksud baik kedatangan perutusan raja konawe yang dipimpin oleh Murhum. Dalam suatu pertemuan yang kemudian diadakan, Murhum sebagai pemimpin perutusan dari kerajaan konawe mengemukakan maksud dan tujuan raja konawe Oheo untuk menyelesaikan sengketa antara kedua kerajaan.
Berbagai tanggapan dan
penolakan perdamaian muncul dari para pejabat tinggi kerajaan Mekongga,
tetapi dengan bijak dan dengan berbijak pada filosofi "kalo" sebagai
simbol persaudaraan kebangsaan tolaki-mekongga maupun terhadap kerajaan
buton, muna dan kerajaan lainnya
di mana akhirnya kedua belah pihak kembali sadar dan berhasil menetapkan kesepakatan perdamaian antara kedua kerajaan.
Inilah peristiwa pertama yang memperkenalkan peradaban "kalo" sebagai simbol persaudaraan antar kerajaan yang bukan saja berlaku antara sesama tolaki, mekongga dan moronene, tetapi juga meliputi kerajaan di sulawesi tenggara. Peristiwa perdamaian itu terkadi pada bulan Rabiul Awal 932 Hijriah tahun 1526.
Usai pertemuan perdamaian itu Raja Mekongga Teporambe mengikat pula kesepakatan persahabatan dan hubungan perdangan dengan kerajaan buton.Murhum bersama rombongan perutusan tiba di kembali di konawe dan menyampaikan hasil pertemuan bahwa telah terjadi kesepakatan perdamaian dengan kerajaan mekongga, Raja konawe Oheo amat bersuka cita.
Oleh sebab itu atas jasa-jasa Murhum Raja Konawe memberikan beberapa unugerah kehormatan yaitu sebagai:
- Dinobatkan sebagai raja dengan gelar " Halu Oleo"
- Dinobatkan sebagai putra bangsa tolaki dengan gelar "Anakia" La Tolaki
- dikawinkan dengan putri raja konawe, Anawai Angguhairah.
- Gelar kehormatan "HALU OLEO" menurut persepsi di buton di berikan karena Murhum mampu menyelesaikan sengketa kerajaan konawe dengan kerajaan mekongga dalam jangka waktu 8 hari.
- Gelar kehormatan Latolaki di berikan oleh raja konawe adalah pengakuan terhadap murhum sebagai putra suku tolaki dari golongan bangsawan atau "Anakia" karena hubungannya dengan wasitau cucu Buburanda.
- Dikawinkanlah dengan putri raja konawe Anawai Angguhairah adalah suatu perhargaan pengakuan kepada Murhum sebagai Raja yang kemudian menurunkan keturunan Raja-raja konawe. Bahwa dalam perkawinan ini sebagaimana di ketahui Murhum memperoleh 3 (tiga) putri yaitu:
- Wa Ode Poasia
- Wa Ode Lepo-lepo
- Wa Ode Konawe
Dari hubungan perkawinan inilah sehingga generasi kaum tolaki yang
berkaitan darah dengan Murhum mempunyai hubungan genealogis dengan
Raja-raja Majapahit, kekaisaran China, dan sultan2 buton melalui garis
keturunan Murhum.
( sumber: buku " Demokrasi Lokal Darul Butuni" karya LM Syarif Ma'mum )
Tidak ada komentar:
Write komentar