Barangkali, inilah kasus pembunuhan yang tak akan bisa saya
pecahkan sepanjang karir saya sebagai detektif. Saya mendapat kiriman tiga
mayat dalam peti mati. Semua dengan dengan kondisi kematian yang identik: leher
terikat, ada bekas di seret, tusukan dibagian dada berpola persis dengan serup,
sebutir peluru dikepala, lambung penuh racun, da pesan:
“Kami bertiga saling membenci, tapi kami sepakat mati baik baik, tentulah
menyenangkan bila permusuhan kami di akhiri dengan cara kematian yang menurut
kami paling indah. Kami harus mati dengan cara yang sama, agar tak ada lagi
dendam di antar kami. Pada hari yang telah di tentukan, kami bertemu. Kami
mendiskusikan bagaiman sebaiknya kami saling bunuh. Rasanya ini seperti
perjamuan terakhir untuk kematian. Kami setuju mencoba beberapa cara. Pertama
kami saling menjerat leher dengan tali, kemudian yng satu menyeret yang lain.
Ternyata itu tak membuat kami mati. Lalu kami saling menusukan pisau ke jantung.
Ini pun belum tuntas. Maka kami saling menembakan pistol: satu peluru ke kepala
yang lain. Tapi ini pun tak membuat kami mati. Lalu kami melanjutkan menenggak
racun. Tiap dari kami menyeduh racun yang sama, dan duduk melingkar masing
masing memegang gelas, di ulurkan ke mulut sebelahnya. Serentak kami teguk
racun itu.
Kami menulis pesan ini setelah mati. Diantara kami bertiga rupanya ada
yang berkhianat, dan lolos dari kematian. Kami mengirimkan mayat kami, agar
tuan detektif bisa menyelidiki: siapa diantara mayat kami bertiga yang
berkhianat...”
Sampai hari ini, saya masih
berdiri memendangi mayat dalam tiga peti mati itu
Tidak ada komentar:
Write komentar