Gambar tema oleh MichaelJay. Diberdayakan oleh Blogger.

Artikel
Kumpulan Tulisan Kami

Kamis, 16 Maret 2017

Eksistensi Cinta : Agama dan Modernisasi

 

Saya bukanlah seorang yang religius namun sejak saya dilahirkan, saya telah diwarisi sebuah agama, saya bukanlah seorang pujangga cinta yang dengan karya sastra percintaannya dapat mengait hati sang kekasih, saya bukanlah seorang filsuf cinta yang terus berfikir dan menkaji apa itu cinta, namun saya hanyalah seorang pemuda yang dipaksa hidup dalam sebuah zaman modern yang penuh akan kepalsuan. 
Berbicara masalah cinta sama halnya berbicara secara metafisik, ada namun tak dapat tergambarkan secara fisik sehingga terkadang kita salah mengartikan apa itu cinta. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, cinta yaitu suka sekali atau sayang benar. Namun menurut pandanganku cinta itu merupakan kasih sayang yang tulus dan tak dipengaruhi oleh jarak maupun waktu. Jika cinta dipengaruhi oleh jarak maka cinta tersebut tidaklah tulus, karena semakin jauh jarak yang memisahkan maka semakin jauh pula cinta antar kedua insan tersebut sehingga akibat hal tersebut maka dewasa ini sering terjadi perselingkuhan. Begitupula dengan waktu, ketika waktu terus berputar maka cinta terus mengalami degradasi yang akan melenyapkannya.

Ada orang yang mengatakan cinta itu dari mata turun ke hati, sehingga saya menyimpulkan bahwa cinta itu dipengaruhi oleh keindahan fisik maupun rupa seseorang. Memang tidak salah, tak mungkin kita menilai hati seseorang tanpa terlebih dahulu melakukan penilaian secara objektif atau secara inderawi. Namun penilaian secara objektifpun kita banyak menemukan banyak kekeliruan dari kenyataannya. René Descartes yang dikenal sebagai bapak rasionalitas juga mengalami hal yang sama dan meragukan kemampuan inderawinya akan eksistensi sehingga muncul pernyataan terkenalnya cogito ergo sum yang berarti aku berpikir maka aku ada. Saya tidak akan menjelaskan pernyataan itu dalam tulisan ini namun yang menjadi kesimpulan dari pernyataan tersebut adalah sesuatu yang dikatakan ada tidak mutlak benar dengan penilaian secara objektif. Mata memiliki banyak kelemahan, misalnya saja jarak semakin jauh jarak maka semakin kecil pula objek yang kita lihat dan semakin dekat jarak maka semakin besar pula objek yang kita lihat sama halnya dengan cinta. Hubungan kekeluargaan pula seperti itu, walau secara genetik kita bersaudara namun ketika kita jarang bertatap dan jarang bertemu maka tali persaudaran kita semakin renggang.

Pada zaman modern ini, orang beranggapan bahwa bentuk manifestasi dari cinta adalah dengan pacaran dan bercinta kerap diartikan melakukan hubungan intim. Hubungan intim disini, bukanlah hubungan suami istri namun lebih kepada sex bebas (zinah) antar kedua insan yang belum menikah (masih pacaran). Eksistensi cinta kerap dibuktikan dengan zinah, budaya ini diserap dari kebudayaan barat yang dikenal dengan budaya bebas (liberal) yang sangat bertolak belakang dengan budaya timur. Namun dewasa ini, budaya tersebut telah berakar dari para muda mudi yang keliru mengartikan apa itu cinta. Tujuan dari cinta bukanlah hubungan intim, namun hal tersebut hanyalah menjadi sarana dalam membentuk sebuah keluarga harmonis yang menjadi esensi dari sebuah kebahagiaan duniawi. Andai zinah merupakan pangkal dari kebahagian cinta, maka hal tersebut tidaklah abadi, karena suatu kelak akan kita temukan masa kejenuhan dalam bercinta. Seiring berjalannya waktu fisikmu akan berbeda dengan 20 tahun yang akan datang, seiring berjalannya waktu pula produktifitas dan vitalitasmu akan menurun sehingga sudah dipastikan bahwa cintamu hanya bualan belaka dan tak abadi sampai kamu tua. 

Jika pembuktian cinta dengan berzinah maka itu merupakan sebuah cinta yang sesat. Sudah jelas bahwa zinah itu ditentang baik dalam hukum, norma dan agama tetapi masih banyak pula orang yang salah mengartikannya. Andai cintanya memang tulus kepadamu maka ia tak akan menjerumuskanmu dalam jurang kesesatan yang akan membunuhmu secara perlahan. Di masyarakat, sudah banyak kita temukan hubungan zinah namun adakalanya orang yang melakukan hubungan tersebut tidak melangsungkan hubungan cinta mereka ke jenjang pernikahan. Walaupun mereka menikah yah mungkin karena kecelakaan dan selama tidak kecelakaan tak akan pernah mereka untuk menikah. Sempat terlintas dalam khayalku, ketika kita berzinah sama halnya kita telah merampas kepercayaan dan kehormataan orang yang kita cinta. Kita pula telah merenggut cinta dari orang tuannya dengan hanya sebuah kenikmatan instan sesaat yang tidak hakiki. Puluhan tahun orang tuanya merawatnya, mengajarkannya, mendidiknya, mencintainya dengan tulus dan hanya dengan beberapa waktu saja kita telah merusak mawar yang indah itu dengan berdalilkan cinta yang penuh akan kepalsuan dan kemunafikan. Sehingga dari hal tersebut saya berpendapat bahwa legitimasi dari cinta bukanlah pacaran melainkan sebuah pernikahan. Disini bukan saya mengkritik orang yang pacaran karena itu merupakan hak dari masing-masing individu, namun saya mengkritik cara yang mereka lakukan dan terkadang dari hal-hal tersebut dapat pula mencoreng nama baik keluarga maupun agama. 

Agama sebagai solusi dari degradasi moral yang menimpa kita pada zaman dewasa ini sudah mulai terlupakan. Para ahli sosiologi sekelas August Comte, Max Weber pun telah beranggapan bahwa semakin modern seseorang maka semakin sekulerlah ia. Sehingga semakin tua dunia maka semakin ia lupa akan agama dan semakin terjerumus dalam tipu daya dunia materialistis yang penuh akan kepalsuan. Peran agama sudah mulai terdegradasi, yang dimana orang fanatik dianggap kolot dan orang yang bermaksiat dianggap modern sehingga Prof. Hamka pernah mengatakan bahwa Islam dalam Bahaya. Memang bukan menjadi isapan jempol, bahwa kita memang beragama namun pesan-pesan dan esensi dari agama tersebut telah kita lupakan sehingga jelas berdampak dalam degradasi moral. Zinah sudah menjadi sebuah kebudayaan dalam bermasyarakat, dimedia masa sudah banyak berita yang mengangkat kasus sex bebas dalam lingkup pelajar hingga masyarakat dan hal ini sudah menjadi gambaran kehidupan kita dewasa ini. Saat ini kembali kita angkat program revolusi mental, namun pertanyaannya apa yang perlu kita revolusi ? tempat prostitusi semakin banyak, kafe remang-remang semakin banyak, minuman keras sudah beredar bebas dan seakan orang yang mengatakan revolusi mental tersebut seakan telah dibutakan akan tipu daya dunia materialistis. 

Zaman semakin modern namun kita seakan kian membentuk gerakan fundamentalis yang ingin menuju ke zaman jahiliah dengan menghalalkan sex bebas. Sex bebas dapat dikatakan kebudayaan primitif dan kebudayaan hewani yang dimana tidak ada aturan yang mengikat dalam melakukan hal tersebut. Kita bebas berkahwin dengan siapapun tanpa ada legitimasi yang mengikat (pernikahan). Andai hal itu telah terjadi maka tak ada berpedaan signifikan kita dengan hewan toh hewan juga melakukan sex bebas. Perbedaannya yaitu hewan tak memiliki akal sedangkan manusia yang dikatakan makhluk tuhan yang paling sempurna memiliki akal sebagai lentera dalam kehidupannya. Prof. Hamka mengatakan bahwa manusia memiliki nafsu hewani yaitu nafsu perut dan nafsu kelamin (sex), nafsu tersebut bukan tujuan dalam sebuah kebahagiaan namun hanya menjadi sebuah sarana maupun proses dalam mencapai sebuah kebahagiaan. Solusi dari masalah tersebut yaitu agama sehingga dalam sebuah keluarga kita harus membekali anak kita akan pendidikan agama. Pendidikan formal (sekolah) tidak menjamin akhlak dan budi seorang anak yang terpenting adalah pendidikan dalam keluarga.

Tidak ada komentar:
Write komentar

Silahkan Berlangganan !!
Untuk Melihat Informasi Terupdate !